Pemprov DKI Jakarta sedang mempertimbangkan untuk memberlakukan pembatasan pembelian solar dan pertalite. Sementara itu, PT Pertamina masih menunggu terbitnya regulasi lengkap yang mengatur soal ini.
Irto Ginting, Sekretaris PT Pertamina Patra Niaga, berharap aturan yang akan diumumkan terkait pembatasan tidak menimbulkan masalah. Diantaranya adalah perselisihan antara operator SPBU dengan masyarakat sebagai konsumen.
pada Jum’at (3/6/2022) ia berharap review tersebut memperjelas implementasi di lapangan. Artinya, tidak ada lagi perselisihan antara operator SPBU dan konsumen.
Peraturan yang dimaksud adalah peraturan tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penjualan Eceran Bahan Bakar Minyak, yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014. Nampaknya kajian ini akan mengatur teknis alokasi pembelian solar bersubsidi dan alokasi BBM pertalite.
Erto tidak merinci lebih lanjut dampak rencana penerapan pembatasan tersebut terhadap Pertamina. Ia memilih menunggu hasil kajian yang sedang berlangsung oleh pemerintah.
“Perpres 191 sangat kami revisi sampai jelas siapa yang berhak, dan pemerintah juga harus mengecek,” katanya.
Meski nanti pembatasan diberlakukan, dia tetap bersikeras akan mengacu pada aturan baru nanti. Dia mengatakan Pertamina pada dasarnya akan menegakkan hasil Perpres 191 diubah.
“Sebagai operator tentunya kami akan menegakkan sesuai kuota yang diberikan oleh regulator,” ujarnya.
Menurut informasi, data yang dihimpun Liputan6.com menunjukkan konsumsi BBM Pertalite dan Solar meningkat. Kenaikan Pertalite diketahui karena adanya penyesuaian harga BBM Pertamax, sehingga banyak pengguna yang memilih migrasi ke Pertalite.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi pertalite hingga 2 April 2022 sebanyak 6,48 juta kiloliter. Estimasi pangsanya 23,05 juta kiloliter, jadi sisanya 16,57 juta kiloliter.
Sementara itu, hingga 2 April 2022, realisasi energi surya naik dari subsidi 15,1 juta kiloliter menjadi 4,08 juta kiloliter. Jadi sisa porsinya 11,2 juta kiloliter.
Secara terpisah, Presiden Pertamina Nick Widyawati mengatakan konsumsi solar bersubsidi dinilai lebih diminati dari jatah yang ditetapkan.
Berdasarkan survei tiga bulan pertama tahun 2022 hingga 27 Maret 2022, PT Pertamina Diesel mencapai 3.767.512 kiloliter dan PT AKR Corporindo 29.360 kiloliter.
Sedangkan kuota untuk tiga bulan pertama sebanyak 3.499.525 kiloliter. Kedua perusahaan energi ini telah ditunjuk untuk mendistribusikan solar oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Dari pendistribusian BBM Februari dan Maret, kuota saat ini yang sudah melebihi kuota, terlampaui, akun Januari lebih besar 10% dari kuota, dan pada 27 Maret sedikit diturunkan karena realisasi dan kombinasi Pertamina dan AKR. Itu 8,5%.” Rapat kerja dengan Panitia VII DPR RI belum lama ini.
“Kami melihat peningkatan kuota dalam tiga bulan pertama dan jika aktivitas ekonomi meningkat, kemungkinan besar kuota bahan bakar 1 juta Lira Turki pada akhir tahun tidak akan mencukupi,” tambahnya.
Pemerintah saat ini sedang menyusun peraturan tentang peruntukan teknis Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar. Langkah dalam menyiapkan aturan pembelian pertalite dan solar adalah agar Anda dapat lebih tepat menargetkan distribusi Anda.
Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), menjelaskan aturan tersebut akan mengatur keduanya. Artinya, pergerakan konsumen dari BBM nonsubsidi ke BBM bersubsidi akibat kenaikan harga minyak internasional dan kesenjangan harga.
“Bahan bakar jenis lain yang lebih penting sebagai presiden adalah jenis solar, karena tidak hanya pertalite yang disuling, tetapi juga disubsidi per liter dan masih disubsidi, tetapi perbandingannya masih sangat murah. Antara dua kutipan (2022-05-30 diesel tanpa bantuan.
Saat ini harga solar bersubsidi sebesar Rp 5.100 per liter, jauh lebih tinggi dibandingkan harga solar non subsidi yang sekitar Rp 13.000 per liter.
Djoko mengatakan perang antara Ukraina dan Rusia telah mendorong harga minyak internasional, terutama bensin, yang mendorong harga domestik Pertamax menjadi Rs 12.500 per liter.
Sementara itu, pemerintah tidak menaikkan harga pertalite, sehingga selisih harga BBM untuk jenis konsesi ini sebanding dengan solar dan bensin. Hal ini menyebabkan konsumen beralih dari membeli Pertamax ke Pertalite.
Situasi ini membuat beban keuangan Pertamina semakin berat karena harga jual produk tidak naik sesuai harga keekonomian dalam situasi di mana sekitar 50% bensin harus diimpor dengan harga tinggi.
“Keduanya akan diatur dalam peraturan presiden yang baru,” kata Djoko.
Dia mengatakan solar adalah prioritas pertama yang diatur pemerintah karena jenis bahan bakar ini digunakan tidak hanya untuk mobil, tetapi juga untuk industri pertambangan dan pertanian serta kapal-kapal besar. Dalam kasus Pertalite, hanya ada perubahan konsumen yang meningkatkan sirkulasi.